Cici Si Cicak yang Cerdik
Karya: Agustin Flaviyana, S.Pd.
Cici seekor Cicak yang tinggal di rumah manusia sejak dalam perut ibunya. Ibunya meninggal di makan kucing ketika ia baru berusia tiga minggu. Kini ia tinggal bersama dengan Neneknya. Sedangkan keberadaan Ayahnya hingga saat ini tak ia ketahui. Semenjak ia mulai bisa berpikir, hanya nenek sajalah keluarga yang ia kenal. Nenek merupakan Ayah dan Ibu baginya. Ia sangat menyayangi neneknya itu. Cici cicak tumbuh menjadi anak yang pintar dan baik hati. Dia selalu membantu neneknya bekerja di sarang maupun bekerja mencari makan. Ia mulai khawatir dengan neneknya yang sudah sangat tua itu. Nenek sudah mulai sakit-sakitan.
“Nek, mulai sekarang biarlah aku saja yang bekerja keluar sarang untuk mencari makan. Nenek istirahat saja menunggu sarang.” Pinta Cici kepada neneknya. Namun, neneknya menolak.
“Aku masih kuat untuk mencari makan, Cu. Nenek tak mau membiarkanmu seorang diri berkeliaran di luar sarang. Sangatlah berbahaya. Nenek masih mampu melindungimu.” Sahut nenek sambil mengelus kepala Cici. Walau dalam hati Cici sangat khawatir dengan nenek, namun ia tak berani untuk menentang.
Pagi-pagi sekali Cici sudah bangun. Ia merapikan sarang dan menyiapkan sarapan untuk neneknya. Ketika neneknya bangun, semua pekerjaan rumah sudah beres. Neneknya sangat senang sekali. Setelah selesai sarapan, Cici dan nenek pergi bekerja mencari makan. Makanan buruan yang mereka sukai adalah nyamuk. Mereka harus hati-hati karena ada kucing yang sangat kejam berkeliaran di rumah manusia.
Cici dan nenek sangat senang ketika melihat sekumpulan nyamuk yang sangat banyak dan gemuk-gemuk di balik tirai jendela kamar pemilik rumah. Ketika akan menangkap nyamuk-nyamuk itu, tiba-tiba saja kucing penjaga rumah yang kejam itu datang dan siap menangkap Cici Cicak dan nenek. Mereka berdua sangat ketakutan. Dengan sekuat tenaga Cici dan nenek berlari. Namun sungguh sayang, nenek tak mampu untuk berlari kencang. Cici tak sampai hati untuk meninggalkan nenek seorang diri. Ia tak rela jika nenek menjadi santapan kucing kejam itu. Kucing itu sudah hampir dekat ke arah nenek. Nenek terlihat tak berdaya dan hanya bisa pasrah. Cici sangat sedih. Ia berpikir akan kehilangan neneknya tercinta.
Tiba-tiba Cici mendapat akal.
“Hai ...kucing. Kau sangat pengecut hendak memangsa Cicak yang sudah tua. Tubuhnya sangat keriput dan kurus. Tak lagi banyak daging. Rasanya pun tak lezat. Kau lihat aku. Dagingku padat. Aku masih muda. Tentunya sangat lezat sekali. Tapi, aku yakin Kau tak tertarik memangsaku karena takut. Kau hanya berani dengan nenek tua yang tak berdaya..” hasut Cici dengan tegas. Mendengar ejekkan Cici, kucing itu marah besar.
“Kata siapa aku penakut.?Akulah binatang yang terkuat di rumah ini.” kata Kucing sambil berusaha menerkam Cici. Cici segera lari. Kucing juga terus mengejarnya. Cici kemudian berhenti di depan kandang Dogi si anjing penjaga rumah. Tepat di dekat ekor Dogi, Cici menanggalkan ekornya kemudian bersembunyi di balik kandang. Ekor itu terus bergerak-gerak. Kucing sangat senang sekali melihat ekor Cici yang lincah. Ia sudah tak sabar ingin memakannya.
Kucing itu sangat mudah sekali ditipu. Ia mengira Cici Cicak bersembunyi di balik keset bebulu. Tanpa pikir panjang, Kucing langsung menerkam ekor itu. Namun tiba-tiba saja Dogi bangkit dan memperlihatkan giginya yang tajam kepada kucing. Ternyata ekor Dogi ia kira keset berbulu. Dodi kemudian menggigit ekor Kucing. Kucing lari pontang-panting. Akhirnya, Cici dan nenek selamat.
“Trimakasih Dogi. Kau telah menyelamatkan kami.” kata Cici sambil mengelus ekor Dogi.
“Ini juga berkat kecerdikanmu, Cici. Kau Cicak yang baik dan sayang terhadap nenekmu. Kau adalah Cicak yang cerdik dan pemberani.” Kata anjing samlbil mengelus kepala Cici. Dogi Anjing sangat terharu melihat pengorbananCici terhdap neneknya.
“Trimakasih, Cu. Tapi, nenek tak mau kau mengulanginya lagi. Itu sangat mengancam nyawamu. Biarlah nenek yang jadi korban asalkan kau selamat.”
“Jangan bicara seperti itu, nek. Apa pun akan aku lakukan untuk melindungi nenek. Waktu aku kecil neneklah yang
merawat dan melindungiku dari ancaman bahaya. Sekarang sudah sepantasnyalah aku melindungi nenek.’”sahut Cici sambil memeluk neneknya. Setelah keadaan aman kembali, mereka segera pulang ke sarang.
Suatu hari Cici sakit. Ia tak mampu untuk bangun. Kemudian neneknyalah yang bangun pagi-pagi dan merawatnya. Setelah merawat Cici dan memeberi nya obat, barulah nenek berangkat kerja mencari makanan.
“Cu’, nenek mau berangkat mencari makan. Kau baik-baiklah di rumah. Jaga dirimu baik-baik, ya. “ kata nenek pamit sambil mengelus ekor Cici. Cici sangat sedih melihat neneknya berangkat seorang diri. Ia sangat khawatir terhadap neneknya.
“IIya, nek. Kau juga haruslah hati-hati. Jangan sampai nenek bertemudengan kucing jahat itu lagi.” kata Cici sambil mencium dan memeluk neneknya. Air matanya terus mengalir. Cici sangat sedih melihat neneknya yang sudah tua itu
Sudah larut malam, tetapi nenek belum juga pulang ke rumah. Cici sngat khawatir. Ia sedih memikirkan neneknya. Tiga hari berlalu, nenek belum juga pulang. Cici memutuskan untuk mencari neneknya. Alangkah terkejutnya Cici ketika mengetahui neneknya telah tiada. Tikus-tikus yang ada di rumah itu menceritakannya kepada Cici. Cici sangat sedih dan berniat membalas kejahatan Kucing. Ia meminta bantuan tikus-tikus. Mereka mulai mengatur rencana.
Keesokan harinya, Cici menemui kucing dan mengatakan kepada kucing bahwa banyak sekali tikus di atas atap. Mendengar hal itu kucing segera naik ke atap. Ternyata benar, banyak sekali tikus-tikus berkeliaran. Kucing berlari dan melompat ke arah tikus-tikus. Dalam waktu yang bersamaan, tikus-tikus itu melompat ke masing-masing sisi. Namun kucing itu sudah terlanjur melompat dan jatuh tepat di atas jebakan yang dipasang Cici Cicak. Ternyata tikus-tikus itu sengaja berkerumun di depan jebakan itu untuk mengumpan Kucing jahat itu. Kaki kucing terjepit dan mengalami luka. Karena tak dapat menahan tubuhnya, ia kemudian terjatuh dan celaka. Walau dalam hati Cici sudah puas memebalas perbuatan jahat Kucing, namun kesedihannya tak kunjung hilang karena kehilangan nenek yang sangat ia sayangi. Air matanya terus saja mengalir bila teringat dengan pesan terakhir neneknya. Ia tak menyangka jika itu merupakan pertemuan terakhir dengan neneknya. “Maafkan aku, Nek. Aku gagal melindungimu.” Cici trus menangis mengenang neneknya. Kini ia hidup sebatang kara. (yn)
Oni Si Rakus
Karya: Agustin Flaviyana, S.Pd.
Matahari mulai terbit, burung-burung berkicau, semua satwa penghuni hutan mulai beraktivitas. Kabut pagi juga mulai lenyap dimakan mentari.
Di hutan itu terdapat kampung Kancil. Mereka hidup sangat Rukun dan hidup saling menolong. Ketika matahari terbit, mereka segera keluar dari lubang sarang di dalam tanah dan bersama-sama bergegas ke kebun masing-masing untuk bekerja.
Saat ini masih musim panas.. Waktu yang tepat bagi kawanan kancil untuk berkebun mananam wortel. Hingga musim penghujan tiba mereka tak perlu lagi keluar rumah untuk bekerja dan mencari makan karena mereka memiliki persediaan makanan yang cukup selama musim hujan.
Oci, kancil dan teman-temannya sangat rajin mencari makan dan bekerja di kebun. Pagi-pagi meraka segera mandi dan berangkat bekerja.
Lain halnya dengan Oni kancil, biarpun teman-temannya sudah pergi bekerja di kebun, dia tetap saja mendengkur.
“Oni, ayo bangun, teman-teman sudah bekerja..” ajak Oci Kancil sambil menarik selimut Oni.
“Malas ah...dingin-dingin begini enaknya bergulung dalam selimut…” Sahut Oni sambil menaikkan selimutnya.
“Kebunmu akan rusak jika tak pernah kau rawat. Sudah seminggu kau tak mengurus kebunmu. Tanamanmu akan mati semua Oni…kau bisa kelaparan jika musim dingin nanti tiba.” sahut Oci sambil melangkah ke luar rumah.
“Untuk apa capek-capek menanam wortel di kebun. Wortel di kebun manusia lebih melimpah. Buahnya juga sangat ranum dan rasanya lebih lezat bila dibandingkan dengan wortel yang kita taman. Lebih mudah mencuri wortel pak tani, dari pada menanam di kebun.” sSahut Oni. Oci hanya geleng-geleng kepala.
Setiba di kebun, Oci menceritakan kejadian tadi kepada teman-temannya. Mereka semua khawatir dengan nasib Oni.
“Suatu saat Oni pasti mendapat pelajaran dari kemalasan dan kerakusannya..” Kata Icil dengan wajah khawatir.
Matahari mulai terbenam, Oci dan teman-temannya pulang ke rumah masing-masing. Mereka melintasi rumah Oni. Dilihatnya Oni sedang makan wortel dengan lahapnya. Wortel yang sangat banyak itu ia habiskan semua. Wortel itu ia curi dari kebun Pak Tani.
“Oni sangat berani mengambil resiko. Dia tak takut dengan manusia. Manusia akan membunuhnya jika dia ketahuan.” ujar Oci sambil menggelengkan kepalanya. Mereka hanya berlalu di hadapan Oni karena mereka tau nasehat baik tak akan ada guna bagi Oni.
Musim panen tiba. Semua kancil mulai memanen hasil kebunnya. Mereka sangat gembira melihat hasil panen yang sangat melimpah. Sementara Oni kancil pergi mencuri wortel di kebun Pak Tani.
Oci dan teman-temannya pulang membawa hasil penen ke rumah. Begitu juga dengan Oni, ia membawa hasil curiannya pulang ke rumahnya. Setiba di rumah, Oni melahap semua makanannya tanpa menyisakan sedikit pun. Begitulah Oni, tak pernah ia menyiskan makanan untuk persediaannya. Lain halnya dengan Oci dan yang lain, mereka makan secukupnya dan menyisakan makanan untuk persediaan di lumbung tempat makanan. Lumbung tempat makanan itu berada di daerah tinggi, sehingga ketika musim hujan dan banjir, kereka segera bergegas di lumbung itu untuk mengunsi. Semua hasil panen mereka satukan di lumbung itu.
Menjelang pagi, cuaca mulai mendung. Angin bertiup sangat kencang. Semua warga kancil segera bergegas menuju lumbung makanan di daerah tinggi. Oci segera bergegas ke rumah Oni untuk membangunkannya karena ia yakin Oni pasti masih lterlelap.
“Oni, ayo bangun. Musim hujan tiba. kampung kiata akan kebanjiran. Ayo cepat segera mengunsi…” ajak Oci sambil menarik Oni.
“kalian pergi saja duluan. Aku akan menyusul…” sahut Oni dengan malas. Ia kemudian tidur lagi. Oci kemudian pergi meninggalkannya.
Keesokan harinya, air mulai masuk ke lubang sarang Oni. Oni segera berlari menyelamatkan diri dan sampailah ia ke lumbung makanan dengan wajah kelalahan. Dilihatnya teman-temannya sedng makan bersama. Tiba-tiba saja perutnya terasa melilit karena kelaparan. Ia tak ingat makan karena tidur sehari semalam selama hujan deras. Setelah lubang sarangnya kemasukan air barulah ia berabjak pergi.
“Kemarilah Oni. Ayo, kita makan bersama…” ajak Oni dan teman-teman yang lain. Sebenarnya Oni sangat ingin makan, tetapi ia malu dan gengsi untuk makan karena dia tak pernah ikut menyimpan hasil panennya di lumbung itu.
“Kalian makan saja. Aku sudah kenyang. Aku sudah makan sangat banyak.” sahutnya dengan sombong.
“Jika persediaan makananmu sudah habis, kau boleh makan bersama kami.” Kata Oci dengan ramah.
“Tak usah. Persediaan makananku lebih banyak dari punya kalian.” katanya dengan angkuh.
“Kau bohong. Di mana kau menyimpannya? Sarang kita kan sudah terkena banjir.” sahut Ucil marah.
“Di suatu tempat yang aman..” sahut Oni berbohong. Wajahnya terlihat angkuh.
* * *
Sudah tiga hari berlalu. Hujan belum juga reda. Perut Oni sudah semakin lapar.
“Ayolah Oni, makan bersama kami.” ajak Oci.
“Tak usah. Sekarang aku mau mengambil makananku…” sahut Oni sambil berlalu.
“Jangan Oni. Hujan masih sangat deras. Sangat berbahaya bagi keselamatanmu.” cegah teman-temannya.
Oni tak peduli. Dia tetap pergi meninggalkan teman-temannya. Dia terus berjalan dari ranting ke ranting menuju kebun Pak Tani. Ranting-ranting itu sangat licin, hampir saja ia terjatuh. Namun, ia berhasil sampai di kebun Pak Tani.
Dengan berani, Oni Kancil masuk ke kebun Pak Tani. Ia melahap wortel-wortel Pak Tani. Ia terus makan tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya. Setelah kenyang, ia memetik lagi wortel-wortel itu dan memasukkannya ke kantong yang ia bawa. Ketika hendak beranjak pergi, tiba-tiba saja Pak Tani sudah berada di depannya dengan membawa senapan. Oni sangat terkejut, jantungnya berdetak sangat kencang. Dia berlari sekuat tenaga. Dengan gesit Pak Tani berlari mengejarnya dan berhasil menembak Oni tepat di kakinya. Oni Kancil tersungkur. Ketika akan menembak lagi, tiba-tiba saja Pak Tani berlari meninggalkan Oni karena ia terkejut dengan bunyi petir yang sangat nyaring. Ternyata bunyi petir itu adalah bunyi petir tipuan yang dibuat oleh Oci dan teman-temannya. Mereka berhasil menyelamatkan Oni. Walau berhasil selamat, tetapi kaki Ono luka parah sehingga ia tak dapat berjalan pulang ke rumah. Oci dan teman-temannya menggotong Oni pulang ke rumah.
“Syukurlah kita tidak terlambat menyelamatkan Oni. Satu detik saja kita terlambat, Oni pasti tidak selamat.” ujar Oci sambil mengangkat tubuh Oni yang terkapar tak berdaya.
Ternyata, secara diam-diam Oci dan teman-temannya mengikuti Oni dari belakang karena mereka tau Oni berbohong dan mereka curiga bahwa Oni akan pergi ke kebun manusia. Karena merasa khawatir, mereka membuntuti Oni samapai ke kebum pak tani.
“Terimakasih teman-teman, kalian telah menyelamatkan nyawaku. Aku berjanji tidak akan malas dan rakus lagi.” kata Oni sambil menangis dengan penuh penyesalan.
TUKI SI PELATUK
Karya: Agustin Flaviyana, S.Pd.
Di sebuah hutan yang
lebat. Tinggalah seeokor burung pelatuk bernama Tuki. Tuki pematuk pohon yang
ulung. Tak ada burung pelatuk lain yang dapat menandingi kecepatannya mematuk.
Pohon sekuat apa pun mampu ia lubangi.
Dengan kepandaiannya itu, membuat dia
menjadi sombong. Ia tak mau bergaul dengan pelatuk-pelatuk yang lain.
Menurutnya, tanpa teman lebih menyenangkan dan tak merepotkan.
Selain jago mematuk, Tuki juga sangat kuat
makan. Dia suka makan serangga.
Tuk...tuk...tuk..
Tuki mekubangi pohon dengan ujung paruhnya yang kokoh, berbentuk seperti pahat.
Dia sangat tahu, pohon yang banyak serangganya. Tuki si pematuk ulung ini
sangat kejam dan rakus. Ia selalu memakan semua serangga yang ia temukan tanpa
menyisakannya sedikit pun. Ia tak punya belas kasihan sekalipun
serangga-serangga itu merengek ketakutan dan memohon supaya tak dimakan.
Dengan lidahnya yang panjang,
ia mengejar serangga yang bersembunyi di celah-celah pohon. “Mmmm.. Aku sudah
tak sabar ingin makan serangga-serangga ini.” ia terus berlari mengejar
buruannya itu. Hap… langsung dilahapnya semua. “Serangga-serangga yang masih
hidup ini sangat lezat.”
Teman-teman pelatuk yang lain sering
menasehatinya untuk tak memakan semua serangga yang ada di pohon.
“Tuki, kita tak boleh menghabiskan semua
serangga yang ada di pohon. Kita hanya boleh makan secukupnya saja. Mereka juga
ingin berkembang biak
supaya tidak musnah. Sebaiknya, kamu memakan serangga yang sudah tua saja.
Jangan memakan serangga yang masih muda. Apalagi anak-anak. Serangga yang sudah
mati juga tak kalah lezat” kata teman-temannya. Namun, Tuki tak menurut. Dia malah marah-marah tiap kali
dinasehati.
“Bilang saja kalian iri padaku karena aku selalu lebih gesit menangkap
serangga-serangga itu.” sahut Tuki sambil berlalu.
Suatu hari, Tuki melihat sebuah pohon
yang sangat besar dan kokoh.
“Dengan paruhku yang kuat ini, pohon itu pasti
dapat kulubangi dan akan kujadikan rumah baruku. Rumah yang indah dan kokoh. Di
pohon itu pastilah banyak serangga.” kata Tuki dengan sombong Tuki kemudian
terbang menuju pohon itu.
Tuk...tuk...tuk…Tuki mulai mematuki pohon itu. Pohon itu sangat keras.
Tuki kesulitan mematuk pohon itu. Dengan sekuat tenaga, ia terus mematuk sampai
akhirnya ujung patuknya patah. Tuki kesakitan. Dia terus saja mematuki pohon
itu karena keinginannya begitu kuat untuk menjadikan pohon itu sarang.
Akhirnya, ia berhasil melubangi pohon itu. Namun, sayang paruhnya menjadi
rusak. Tuki kemudian mulai memburu serangga-serangga yang ada di pohon itu.
Serangga-serangga itu sangat banyak. Serangga-serangga itu sudah berada tepat
di depannya.
“Lihatlah paruh
pelatuk itu. Patuknya patah. Sudah tentu ia tak dapat memakan kita.” Teriak
salah satu serangga itu.
Ketika akan memakan serangga itu, tiba-tiba saja Tuki diserang. Sekujur
tubuhnya digigiti serangga. Karena Tuki lupa membuat lubang cadangan yang
digunakan untuk lari ketika musuh menyerang, maka ia hanya bisa pasrah digigiti
serangga.
Tak berapa lama teman-teman
Tuki datang. Serangga-serangga itu lari melihat sekawana pelatuk yang datang.
Akhirnya, Tuki selamat. Namun ia
mengalami luka yang sangat parah. Paruhnya patah, sehingga ia tak mampu lagi
untuk mematuk pohon. Namun, teman-temannya sangat baik terhadapnya. Mereka
kemudian membawa Tuki pulang dan merawat Tuki dengan baik. Mereka selalu
membawakan tuki makanan. Tuki akhirnya sadar akan sifatnya.
Di sebuah hutan yang
lebat. Tinggalah seeokor burung pelatuk bernama Tuki. Tuki pematuk pohon yang
ulung. Tak ada burung pelatuk lain yang dapat menandingi kecepatannya mematuk.
Pohon sekuat apa pun mampu ia lubangi.
Dengan kepandaiannya itu, membuat dia
menjadi sombong. Ia tak mau bergaul dengan pelatuk-pelatuk yang lain.
Menurutnya, tanpa teman lebih menyenangkan dan tak merepotkan.
Selain jago mematuk, Tuki juga sangat kuat
makan. Dia suka makan serangga.
Tuk...tuk...tuk..
Tuki mekubangi pohon dengan ujung paruhnya yang kokoh, berbentuk seperti pahat.
Dia sangat tahu, pohon yang banyak serangganya. Tuki si pematuk ulung ini
sangat kejam dan rakus. Ia selalu memakan semua serangga yang ia temukan tanpa
menyisakannya sedikit pun. Ia tak punya belas kasihan sekalipun
serangga-serangga itu merengek ketakutan dan memohon supaya tak dimakan.
Dengan lidahnya yang panjang,
ia mengejar serangga yang bersembunyi di celah-celah pohon. “Mmmm.. Aku sudah
tak sabar ingin makan serangga-serangga ini.” ia terus berlari mengejar
buruannya itu. Hap… langsung dilahapnya semua. “Serangga-serangga yang masih
hidup ini sangat lezat.”
Teman-teman pelatuk yang lain sering
menasehatinya untuk tak memakan semua serangga yang ada di pohon.
“Tuki, kita tak boleh menghabiskan semua
serangga yang ada di pohon. Kita hanya boleh makan secukupnya saja. Mereka juga
ingin berkembang biak
supaya tidak musnah. Sebaiknya, kamu memakan serangga yang sudah tua saja.
Jangan memakan serangga yang masih muda. Apalagi anak-anak. Serangga yang sudah
mati juga tak kalah lezat” kata teman-temannya. Namun, Tuki tak menurut. Dia malah marah-marah tiap kali
dinasehati.
“Bilang saja kalian iri padaku karena aku selalu lebih gesit menangkap
serangga-serangga itu.” sahut Tuki sambil berlalu.
Suatu hari, Tuki melihat sebuah pohon
yang sangat besar dan kokoh.
“Dengan paruhku yang kuat ini, pohon itu pasti
dapat kulubangi dan akan kujadikan rumah baruku. Rumah yang indah dan kokoh. Di
pohon itu pastilah banyak serangga.” kata Tuki dengan sombong Tuki kemudian
terbang menuju pohon itu.
Tuk...tuk...tuk…Tuki mulai mematuki pohon itu. Pohon itu sangat keras.
Tuki kesulitan mematuk pohon itu. Dengan sekuat tenaga, ia terus mematuk sampai
akhirnya ujung patuknya patah. Tuki kesakitan. Dia terus saja mematuki pohon
itu karena keinginannya begitu kuat untuk menjadikan pohon itu sarang.
Akhirnya, ia berhasil melubangi pohon itu. Namun, sayang paruhnya menjadi
rusak. Tuki kemudian mulai memburu serangga-serangga yang ada di pohon itu.
Serangga-serangga itu sangat banyak. Serangga-serangga itu sudah berada tepat
di depannya.
“Lihatlah paruh
pelatuk itu. Patuknya patah. Sudah tentu ia tak dapat memakan kita.” Teriak
salah satu serangga itu.
Ketika akan memakan serangga itu, tiba-tiba saja Tuki diserang. Sekujur
tubuhnya digigiti serangga. Karena Tuki lupa membuat lubang cadangan yang
digunakan untuk lari ketika musuh menyerang, maka ia hanya bisa pasrah digigiti
serangga.
Tak berapa lama teman-teman
Tuki datang. Serangga-serangga itu lari melihat sekawana pelatuk yang datang.
Akhirnya, Tuki selamat. Namun ia
mengalami luka yang sangat parah. Paruhnya patah, sehingga ia tak mampu lagi
untuk mematuk pohon. Namun, teman-temannya sangat baik terhadapnya. Mereka
kemudian membawa Tuki pulang dan merawat Tuki dengan baik. Mereka selalu
membawakan tuki makanan. Tuki akhirnya sadar akan sifatnya.
Terimakasih kak. Saya mau berbagi ilmu juga nih yaitu jawaban tv9 smp di website ku ya MKH Education dan jangan lupa subscribe channel YouTube ku juga Farid Firmansyah
BalasHapus