Angel.
Sosok malaikat sempurna bagiku. Sebuah karya imajinatif bagi pencinta sastra.
Setidaknya itu yang ada dalam pikiranku saat ini untuk menggambarkan sosoknya
yang tak pernah kuketahui. Sahabat karib tanpa rupa. Aku berkomunikasi
dengannya melalui tulisan. Dia bukan sahabat penaku, tetapi sahabat cattingku.
Suatu saat aku mencari teman melalui internet, perkenalanku disambut ringan
oleh seorang gadis bernama Angel. “Farel,” aku menuliskan namaku sebagai
awal perkenalan. “Angel,” ia balas menuliskan namanya sebagai tanda
sambutan pertemanan. Begitulah awal perkenalanku dengan Angel. Sudah
setahun berlalu, kami masih menjadi sahabat. Besar keinginanku untuk
menjumpainya, namun Anggel selalu mengatakan, “Tak bisa, Rel. Jarak kita begitu
jauh untuk ditempuh.” aku selalu bertanya, “Di mana kau tinggal, sahabat?” Ia
selalu menjawab dengan kalimat yang sama, “Suatu saat kau pasti akan tau.”
Akhirnya, aku tak pernah menyinggung masalah itu lagi.
Di
sekolah saat istirahat siang, aku lebih memilih bermain dengan Angel di
internet. Pengetahuan Angel yang luas sangat membantuku mengurangi kelemahan
otakku dalam pelajaran sekolah. Kadang aku berpikir mungkin saja Angel ini
seorang ilmuwan yang sengaja bercatting dengan otak manusia yang kurang sebagai
penyelamat.
Kemarin
bu Vie, guru Bahasa Indonesiaku, menyajikan sebuah puisi di white board.
“Perhatikkan puisi ini!”
“Itu
bukan puisi, tapi pantun” sahutku dengan lantang. Seisi kelas mentertawakanku.
“Huuu.., Nigau!” ejek Mundo yang duduk di deretan belakang kursiku. Jims, teman
sebangkuku juga mulai melepaskan tawanya untuk kebodohanku.
“Rel,
pantun juga termasuk jenis puisi, namun masih tergolong ke dalam puisi lama,”
terang bu Vie padaku. Jims semakin tertawa lebar. Bu Vie menenangkan kelas,
“Semuanya diam! Farel benar, orang lebih mengenal ini sebagai pantun,” lanjut
bu Vie. Terang
saja aku tak tau, minggu lalu aku absent saat materi ini dibahas. "Mudah-mudahan
bel istirahat cepat berbunyi," pikirku. Aku ingin cepat-cepat bermain dengan
Angel dan menceritakan kekonyolan yang baru saja aku alami. Tanpa Mundo dan
Jims! Bel istitahat berbunyi tiga puluh menit setelah bu Vie memberikan 20 soal
tentang puisi lama. Aku mendapatkan nilai di bawah rata-rata dengan sukses. Lagi-lagi
mereka mentertawakanku. Trima kasih atas pujian yang tak layak disebut
terhormat! Aku mengurungkan untuk menghubungi Angel saat istirahat.
Kutunggu sepulang sekolah setelah otakku kembali mencair. “Kau hebat Rel.
Tak mengalah pada keadaan!” kataku menghibur diri sambil melayangkan senyum
basi kepada Mundo dan Jims.
Aku
pulang ke rumah dengan wajah mengkerut. Kuhindarkan wajahku dari tatapan mama.
“Sudah pulang? Tentu hari ini sangat melelahkan,” sapa mama. Aku hanya
tersenyum kemudian berlari menuju kamarku dan duduk di depan computer. Sambil
menunggu sambungan ke internet, aku melepas ranselku dan melemparkannya ke
tempat tidur sambil sedikit kurebahkan tubuhku.
“Hai,
Rel!” sapa Agel.
“Aku
payah hari ini. Aku tak bisa menjawab soal tentang puisi lama. Mereka
mentertawakanku, Angel. Sungguh konyol kejadian tadi.” balasku diawali dengan
cerita kekonyolan.
“Puisi
lama adalah puisi yang sifatnya masih asli dan belum mendapat pengaruh dari
barat. Puisi lama ini meliputi mantra, pantun, syair, bidal, dan talibun.”
Angel mulai menjelaskan padaku.
“Bagaimana
membedakannya dengan puisi sekarang? “
“Susunan
puisi lama terikat oleh aturan-aturan baku, seperti bait, banyaknya baris, suku
kata, dan persamaan bunyi. Puisi ini digolongkan ke dalam puisi klasik.” Penjelasan
Angel ini lebih mudah kumengerti.
Minggu
berikutnya, ketika ulangan Bahasa Indonesia tentang puisi lama hanya aku yang
mendapat nilai seratus. Sejak saat itu seisi kelas tidak lagi menganggap aku
bodoh. Berkat Angelku, malaikatku yang sempurna.
“Kau
malaikat paling sempurna, Angel. Sahabatku. I Love U friend,” pujian ini selalu
kulayangkan padanya.
“Aku ini
tak sempurna, Rel!” selalu juga jawabannya demikian.
Keinginan
yang dulu terpendam kini muncul kembali. Semakin kuat keinginanku untuk melihat
wujud malaikatku. Setelah cukup lama kami ngobrol di internet, aku menemukan
waktu yang pas untuk mengatakan ini, “Mau kah kau mengirimkan fotomu padaku?
Walaupun kita tak dapat bertemu, aku rasa foto dapat mewakili pertemuan kita.
Fotoku juga akan kukirimkan padamu, Agel.” Aku menunggu jawabannya. Namun ia
tak menjawab.
Aku
mengirimkan fotoku pada Angel melalui email. Aku meminta Angel untuk
segera mengirimkan fotonya. Dalam fotoku, aku berfose mengenakan topi.
Menurutku, ini foto terbaikku. Angel pasti menyukainya.
Aku
menunggu Angel balas mengirimkan fotonya. Setiap hari ketika sedang mengobrol
dengannya, aku selalu bertanya apakah Angel sudah menerima kiriman fotoku. Hari
ketiga, Angel berkata, “Fotomu sudah kuterima, Rel. kau terlihat tampan
mengenakan topi itu. Trims.”
“Syukurlah.
Berarti tak lama lagi aku akan menerima kiriman fotomu.” Sudah lewat beberapa
minggu, foto Angel belum juga kuterima. Setiap kali aku menanyakannya, ia
selalu mengelak dan mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain. Sampai akhirnya
chating diakhiri dengan kalimat penutup darinya.
Suatu
hari aku berkata, “Fotomu belum kuterima, kau bisa mengirimkannyalagi,” namun
tak ada jawaban darinya.
Aneh
sekali Angel. Seolah-olah tak ingin dirinya kuketahui. Telah lewat beberapa
minggu, tetapi belum juga mengirimkan fotonya.Berkomentar tentang masalah itu
pun tak pernah. Akhirnya, aku melupakan perihal foto itu. Capek juga rasanya
menagih tanpa respon.
*
* *
Sepulang sekolah aku langsung menyapa
Angel. Tak ingat lagi aku dengan perutku yang tadi keroncongan. Kami mengobrol
tentang film horror yang baru tayang di bioskop. Sedang hangat dibicarakan.
Judulnya “Ghost”. Film yang menceritkan tentang persahabatan antara
manusia dan hantu. Persahabatan mereka diawali ketika Jay , Si tokoh manusia
mencari teman diinternet melalui friendstar
dan chatting.
“Jay,”
Jay menyebutkan namanya sebagai awal perkenalan.
“Caroline” balas gadis
itu.
Caroline memperkenalkan diri
sebagai gadis biasa yang tinggal sendirian di hutan Black. Hutan yang
dikenal penuh dengan misteri. Konon kabarnya jaman dahulu daerah itu bekas
kerajaan. Jay menganggap itu hanya lelucon, namun Caroline selalu berusaha
untuk meyakinkan. Ia mengirimkan foto yang berisi keadaan hutan itu. Tampak
terlihat gelap dan berkabut. Terlihat olehnya sebuah rumah tua yang megah dan atin.
“Mengapa
kau kirimkan gambar ini tanpa fosemu?”
“Itulah
rumahku, Jay. Kau akan temukan aku di sana.” Jay semakin penasaran. Caroline
selalu saja menolak jika Jay meminta untuk mengirimkan fotonya. Jay semakin
penasaran, akhirnya ia memutuskan untuk mendatangi hutan itu.
Rumah
itu begitu tua, tetapi megah dan kokoh. Berbeda sekali dengan keadaan luar yang
terlihat gelap dan sepi. Tak heran orang-orang menganggap hutan itu angker.
Jay masuk
ke dalam. Ia terpukau melihat keadaan rumah yang begitu indah. Ditatapnya
foto-foto seorang gadis cantik berpakaian
kerajaan. Di salah satu foto terukir tulisan Princes.
Semenjak
mendatangi rumah itu, Jay sering mengalami keanehan. Ia kerap bermimpi bertemu
dengan gadis difoto itu. Mimpi yang sama tiap malam, ia bermimpi gadis itu
memintanya untuk ating kembali ke rumah tua itu. Situasi rumah tua dalam
mimpinya sangat berbeda sekali dengan yang ia lihat. Dalam mimpinya, penghuni
di rumah itu begitu ramai. Berjuta pertanyaan di benak Jay.
“Siapa
kau sebenarnya, Carol? Keanehan menimpaku setelah mendatangi rumahmu. Kau ke
mana ketika aku di sana? Siapa gadis di foto itu?”
“Jay,
kembalilah ke rumah itu! Selamatkan aku! Hancurkan ubin yang ada di bawah
lemari kaca itu,kemudian gali tanah itu sedalam-dalamnya. Kau akan menemukan
jawabannya.” Hanya ini kalimat balasan dari Caroline. “Apa maksudmu? Apa kau
dalam bahaya?” Jay merasa khawatir. Tak ada jawaban dari Caroline. Jay tak lagi
mengganggap ini lelucon. Keesokan harinya, Jay dan serombongan aparat
kepolisian menghancurkan ubin yang ada di bawah lemari kaca dan menggali
tanahnya. Mereka menemukan tengkorak dan kerangka manusia. Jasad Caroline.
“Bagaimana
kelanjutan parsahabatan mereka setelah Jay mengetahui siapa sebenarnya Caroline?”
Pertanyaan itu dituliskan Angel.
“Jay
harus menerima kenyataan bahwa ia akan kehilangan sahabat karibnya di internet.
Sejak saat itu, Jay tak dapat lagi menghubungi Caroline, namun Jay merasa yakin
bahwa Caroline sudah tenang di alamnya.”
Angel
terdiam mendengarkan ceritaku. Aku bertanya, “Apa kau percaya bahwa ada
kehidupan lain? Bagaimana kalau di dunia ini benar-benar ada hantu? Aku takut
pada hantu, Angel. Bagiku ini mengerikan. Bagaimana denganmu?”
“Aku
lebih mengerikan dari hantu itu, Rel. Apa kau masih akan takut padaku?” Aku
terperangah. Ia mulai mengirimkan leluconnya.
“Apa
maksudmu, kawan?” aku balik bertanya. Kutunggu jawaban dari Angel, namun tak
ada jawaban. Angel meninggalkanku tanpa kalimat penutup. Aku menutup layanan
internetku.
Selama
pelajaran berlangsung, pikiranku terus pada Angel. Aku merasa bersalah telah
menakut-nakutinya. Mungkin Angel ketakutan mendengar ceritaku kemarin. Apa
Angel marah padaku?
Sepulang
sekolah aku langsung menyapa Angel di internet, “Hai, Angel! Maaf, jika kemarin
aku menceritakan hal-hal aneh. Itu hanya intermezzo. Aku harap kau tak
marah padaku.” Aku berharap kali ini Angel mau membalas pesanku. Lama aku menunggu. Beberapa menit kemudian,
Angel mengirimkan balasannya.
“Apa
kau bisa menyimpan rahasia?” Balas Angel. Aku merasa bingung dengan
pertanyaannya.
Agak
sedikit ragu aku menjawab.
“Ya,
Angel.”
“Janji?
Ini penting sekali mengenai aku.” Kalimat Angel semakin membuat aku penasaran.
“Aku
janji.”
“Rel,
aku ini hantu. Lebih menyeramkan dari wujud Caroline dalam ceritamu itu. Itu
sebabnya aku tak bisa mengirimkan fotoku. Medan energiku tak bisa ditangkap
oleh film.”
Aku
terpaku memandangi layar komputerku. Sungguh sulit dipercaya. Ini pasti salah
satu lelucon Angel. Ia sering sekali menjebakku dalam leluconnya. Tapi
kenapa aku merasa kali ini berbeda? Mungkinkah aku mengalami kejadian yang sama
dengan Jay dalam film Ghost? Ini dunia nyata, Rel, pikirku.
“Ha...ha..,aku
bisa merasakan keteganganmu. Apa kau percaya?I’m Just Kidding.” Angelmenertawakanku.
Tiba-tiba
saja mama mendekap bahuku. Aku terperanjat dari kursiku. Mama mengajak aku
makan malam, tetapi akhirnya Angellah yang lebih dulu mengundurkan diri,
sementara aku masih terpaku sendiri.
Apa ini salah satu lelucon, Angel? Inikah sebabnya
ia tak bersedia mengirimkan fotonya? Inikah sebabnya ia lebih banyak tau dari
anak-anak lainnya? Kenapa dia begitu penuh rahasia?
Saat
makan malam Ayah menyampaikan sebuah berita.
“Ada
kabar bagus. Permintaan papa untuk dipindahkan ke kantor pusat di Jakarta sudah
disetujui. Kita akan pindah ke sana pada akhir bulan ini. Perusahaan sudah
menyiapkan rumah sewa yang bagus untuk kita. Lokasi rumah itu dekat dengan
sekolah yang terbaik, sekolahmu nanti, Rel.” Ibuku begitu bersemangat mendengar
kabar itu. Tak henti-hentinya ia tersenyum. Aku tak menanggapi kabar itu. Aku
tak tau apa yang kurasakan. Apakah harus senang atau sedih?
Malam
itu aku tak bisa tidur. Pikiranku bercampur aduk. Memikirkan Angel, teman chattingku;
hantu; dan rumah baru. Aku ingat bagaimana sulitnya beradaptasi dengan
lingkungan baru.
Aku
pernah merasakannya hampir tiga tahun sekali. Kami hidup nomaden, selalu
berpindah-pindah tempat. Ke mana ayahku ditugaskan, di situ juga kami tinggal.
Kembali kuingat ketika pertama kali pindah di sini. Susah sekali mendapat
teman. Hingga sekarang aku masih kesulitan. Mereka semua memandangiku pada hari
pertama, membuat aku salah tingkah. Mereka memperlakukanku dengan asing. Inilah
yang ada dalam pikiranku sebelum tidur. Masalah Angel kembali menghantuiku. Tak
mungkin Angel itu hantu. Bukankah ia menyukai bunga matahari. Ia selalu
bercerita mengenai tamannya yang dipenuhi dengan bunga matahari yang indah.
Hantu tak kan menyukai bunga, pikirku dalam hati.
Keesokan
paginya, aku duduk di meja makan sambil makan sereal yang disiapkan mama. Mama
sedang menonton TV. Seorang pembawa berita sedang mewawancarai seorang ibu
muda.
“Bisa
Anda ceritakan tentang peran internet dalam kehidupan Angel?” Tanya pembawa
acara. Aku terkejut mendengar nama Angel disebut. Walau belum tentu itu Angel,
sahabatku. Namun, cukup membuatku penasaran.
“Internet
telah memberikan kebebasan yang sudah lama tak dirasakan Angel. Wawasan yang
luas dapat ia peroleh di internet. Dia bukan saja bisa mendapat informasi
melalui internet di kursi rodanya, tetapi yang paling penting Angel mempunyai
banyak teman.”
Si
pembawa berita meneruskan pertanyaan, “Ceritakan tentang teman-temanmu di
internet, Angel!” kamera beralih pada seorang gadis yang duduk di depan
komputernya. Tubuhnya kurus seperti mengkerut. Kepalanya miring ke satu sisi
dan ketika ia menjawab, kata-katanya begitu sulit dimengerti. Ia mesti bersusah
payah mengucapkannya dan di sudut mulutnya mengalir liur. Sesungguhnya,
wajahnya cantik seperti malaikat. Polos apa adanya.
“Orang
lain melihat aku berbeda dari mereka. Sulit bagiku untuk berbicara dan
dimengerti, tetapi melalui internet aku lebih mudah berkomunikasi dengan
mereka. Mereka mengira aku gadis biasa sebab mereka tak mengetahui wujudku. Aku
rasa persahabatan tanpa mengenal wujud lebih tulus. Persahabatan yang berarti
adalah ketika kita dapat memberikan sesuatu yang berarti dan baik buat sahabat.
Aku berteman dengan banyak orang.” Angel menjelaskan dengan kalimat yang
terbata-bata. Gadis itu tersenyum di depan kamera. Bibirnya terlihat kaku,
mungkin karna itu ia tak dapat berbicara dengan lancar.
“Ini
disebabkan karena struk” jelas Ibunya.
Aku
menatap langit-langit kelas. Pikiranku dipenuhi dengan berbagai hal: Angel,
teman di internetku; si hantu; Angel di TV; pindah rumah.
Tiba-tiba
Jims datang dan mengagetkanku.
“Hai,
Rel! aku dengar kau akan pindah.” Jims duduk disampingku. Aku tersenyum dan
mengangguk.
“Maaf,
teman, selama ini aku sering meledekmu.”
Tak
masalah, kawan,” sahutku sambil menepuk bahunya. Kami semua berpelukan seperti
teletubis.
Kenapa
semuanya bersikap baik setelah mengetahui kabar kepindahanku? Mungkin,
merekapun akan merasa kehilangan aku.
Setiba di
rumah, aku langsung berlari menuju kamar. Tak kuhiraukan mama yang sempat
menyapa. Kulemparkan ranselku di atas tempat tidur. Aku merebahkan tubuhku
sambil menunggu sambungan ke internet.
“Hai,
Angel! Apa kabarmu?” aku berharap Angel segera membalasnya. Sudah tiga jam
berlalu. Tak ada jawaban darinya.
Aku
memutuskan bahwa tidak masalah dari mana Angel berasal, entah dari saturnus,
mars, hutan black ataupun Jakarta. Tidak masalah seperti apa rupa Angel. Angel
tetap malaikat paling sempurna di hatiku. Sahabat terbaikku di sepanjang masa,
di mana pun aku barada. Kututup layanan internetku.
“Angel,
kami akan pindah ke Jakarta. Wah, aku senang punya sahabat yang bisa ikut
denganku ke mana pun aku pergi. Angel, kau tetap malaikatku yang paling
sempurna. Tak peduli bagaimana wujudmu. Kita tetap sahabat. I love U Angel.”
Kali ini
aku mendapat balasan dari Angel. Kalimat yang cukup membuat aku merasa bahagia
dan yakin akan kekuatan persahabatan kami.
“I
Love U too Farel”
Demikian
seterusnya. Aku dan Angel tetap menjadi sahabat. Sahabat di internet. Sampai
saat ini aku belum juga mengetahui keberadaannya dan wujud sebenarnya. “Angel,
apakah kau temanku di internet? Hantu? Atau Angel dalam TV? “ Semua pertanyaan
itu hanya terbenam dalam hatiku.
Seminggu
setelah kepindahanku, aku mendapat kiriman foto melalui email, tanpa identitas.
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar