Penyesalan
27 Juli
Luka
yang paling dalam adalah ketika kita mengalami ‘kehilangan’.
Kehilangan
sesuatu yang paling berharga dalam hidup. Kehilangan kasih, canda tawa, senda
gurau. Yang paling menyakitkan ketika kata ‘maaf’ belum tersampaikan.
Menangislah,
jika aku harus menangis.
Kutatap
layang-layang kesayanganku. Layang-layang pemberian Kak Adit. Namaku Caroline,
panggilan Carol. Aku suka bermain layang-layang walaupun aku bukan laki-laki. Setelah
lelah bergumul dengan alam pikirku, aku kembali memajangnya di dinding kamar
sederetan dengan koleksi layang-layangku yang lain. Ini layang-layang ke-7 dan
terakhir setelah peristiwa buruk itu. Yang terakhir ini paling berharga dan
bersejarah.
“Happy birthday, Kak Adit. Smoga kau tenang
di sana di nirwana yang indah.”
Sebenarnya
aku benci hari ini. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Alam pikirku kembali ke
masa tiga tahun yang lalu.
Tiga
tahun yan lalu…
20 Juli
2006
“Trimakasih, Kak
Adit! Layang-layangnya bagus banget. Waaaah…ada ukiran namaku dan lukisan
wajahku.” Aku berteriak girang. Kulabuhkan sebuah pelukan hangat ke tubuh Kak
Adit yang tinggi.
“Layang-layang ini
sengaja kakak buat sendiri sebagai hadiah ulang tahun adikku yang manis ini.” kata Kak
Adit. Ia
mencium keningku. Sumpah..!
Aku seneng banget.
“Layang-layangnya
dirawat dan dijaga, yah! Janji?!”
“Janji
kak!”
27 Juli
2006
“Kak
Adit pasti suka dengan hadiah yang kuberikan ini. Kak Adit kan suka melukis.
Waaah, nggak kebayang wajah senangnya ketika membuka kado ini.” Aku
senyum-senyum sendiri di kamarku setelah menyelesaikan bingkisan kado buat Kak
Adit.
Hari ini Kak Adit
berulang tahun yang ke-17, Sweet seventy.
Hari ulang tahunku dan Kak Adik berjarak hanya 7 hari.
Sudah pukul 3 sore.
Aku sudah tak sabar menunggu Kak Adit
pulang sekolah. Sekarang mungkin Kak Adit sedang dalam perjalanan pulang. Ia
pulang sendiri menggunakan sepeda motor.
Kulirik
jam dinding yang ada di ruang keluarga. Pukul18.35. Saat ini Papa, Mama, dan
aku (O ya, masih ada Bi Ratih, wanita
separuh baya yang bekerja di rumahku selama 30 tahun) menunggu kedatangan
Kak Adit. Kami sudah menyiapkan kejutan untuknya. Mama dari pagi menyiapkan
semuanya dibantu oleh Bi Ratih. Masakan yang lezat dan kue-kue sudah terhidang
di atas meja makan.
Pukul 19.22. Kak Adit
belum juga pulang. Aku masih memeluk kado yang kupersiapkan sejak semalam. Papa
sibuk menelpon HP Kak Adit yang sejak tadi mailbox.
Kulihat Mama mondar-mandir tak tenang menunggu sosok Kak Adit. Raut khawatit
menyelimuti parasnya. Seharusnya, hari ini kakak pulang jam 3 sore.
Kring….kring….kring….. Tiba-tiba telepon
rumah berdering.
Mama
segera berlari mengangkat telepon. Kulihat wajahnya begitu gusar.
“Halo,
selamat malam.” Sapa mama.
“Ya
benar. Ada apa ya? Ini siapa?” raut panik berlipat-lipat di kening mama.
“Apa…??
Tidak mungkin, Pak…!” mama berteriak. Kami semua terhentak kaget mendengar
teriakan mama. Aku, papa, bibi segera menghampiri mama.
“Di mana kejadiannya,
Pak? Bagaimana keadaan a..a..anak saya?” mama menangis tersedu. Aku ikut
menangis. Aku tau hal buruk menimpa Kak adit. Oh, tidak. Aku tak yakin.
“Baik, pak. Kami
segera ke sana……iya…..trima kasih….malam..” mama terpaku. Ia tak mampu lagi
berkata.
Aku begitu hancur
ketika mama mengatakan Kak Adit kecelakaan. Ia di tabrak truck yang bermuatan
kayu. Ternyata sopir truck itu dalam keadaan tertidur, ia tak melihat motor Kak
Adit yang berhenti di lampu merah. Menurut cerita, bukan hanya Kak Adit yang
menjadi korban. Banyak sekali, diantaranya juga ada Kak Gerald. Teman akrab Kak
Adit sejak TK. Sampai sekarang mereka sekelas.
Kami semua berkumpul
di depan ruang ICU menunggu informasi dari dokter mengenai keadaan Kak Adit.
Kabar yang kami dengar terakhir, Kak Adit mengalami pendarahan di otak akibat
benturan kuat di aspal jalan. Kulihat Kak Gerald bersama orang tuanya. Ternyata
ia baik-baik saja hanya mengalami luka ringan dan benturan ringan di kepala.
Syukurlah. Tapi, aku masih menangis. Rasanya aku ingin berteriak pada Tuhan
untuk tidak mengambil nyawa Kakakku.
Aku berlari keluar
dari ruangan menuju toilet.
“Tuhan, Carol mohon
jangan ambil nyawa Kak Adit. Carol belum siap, Tuhan. Carol belum sempat kasi
kado ini ke Kak Adit. Beri kak Adit kesempatan hidup, ya. Amin.” Aku meneteskan
air mata.
Aku kembali ke ruang
ICU. Rasanya kakiku berat melangkah ketika melihat mama menangis di pelukan
papa. Semua menangis… Kak Gerald juga. Apa yang terjadi?
“Mama…” aku
menghampiri mama. Mama berlari ke arahku dan merangkul aku. Ia terus menangis.
“Carol… Kak Adit
sudah pergi. Pergi untuk selama-lamanya.” Bisik mama.
Aku rapuh. Kelu tak
mampu lagi berkata. Menangis pun tidak. Semua tiba-tiba menjadi gelap dan
sunyi.
***
27 Juli
2009
“Carol Kak Gerald datang.” seru mama.
Suara mama membuat aku terjaga
dari lamunanku ke masa tiga tahun yang lalu. Aku segera bangkit keluar
menuju beranda rumah. Kulihat Kak Gerald duduk sambil membaca komik terbarunya
yang dibeli kemarin.
Kami
berbincang-bincang di beranda rumah. Tawa mewarnai perckapn kami. Kak Gerald
sangat pandai membuatku tertawa. Ia terus mengerak-gerakkan tangannya.
“Trima
kasih Kak Gerald. Kakak bersedia menemani Carol semenjak kepergian Kak Adit.
Kakak pengganti Kak Adit sebagai penjagaku.” kataku agak sedikit parau. Kak Gerald
seolah-olah memeluk Kak Adit. Aku mengerti perasaan Kak Gerald saat itu.ia juga
sangat terluka kehilangan sahabat baiknya. Oleh karena itu, aku tau dengan cara
melindungiku ia merasa telah menjalankan amanat Kak Adit yang tak sempat
tersampaikan. Ini tahun ketiga sejak kepergian Kak Adit. Sebenarnya aku benci
hari ini.
Kak
Gerald menggerak-gerakan tangannya (bahasa isyarat). Aku belum menceritakan
bahwa Kak Gerald sekarang bisu. Akibat kecelakaan itu, ia tak lagi dapat
bicara. Pita suaranya rusak akibat luka di leher.
“Iya,
Kak. Aku janji nggak akan sedih lagi.” sahutku.
Aku mengerti maksud bahasa isyarat kak Gerald. Ia memintaku untuk tidak
bersedih lagi. Katanya ia akan slalu menjagaku. Kak Gerald pamit pulang padaku.
Rumahnya tak jauh dari rumahku. Rumah kelima jika dihitung dari rumahku.
“Hati-hati
di jalan, Kak! Jangan lupa besok hari Minggu temani Carol main layang-layang,
ya.”
Kak
Gerald mengacungkan jempolnya.
Hari
Minggu tiba. Aku dan Kak Gerald bermain-main layang-layang di taman bermain
kompleks perumahan kami. Hari ini aku membawa layang-layang pemberian Kak Adit.
Kami asyik bermain layang-layang. Aku mengajak Kak Gerald bertukar
layang-layang. Aku memainkan layang-layangnya, sedangkan Kak Gerald memainkan
layang-layangku.
“Kak,
Carol pamit cuci tangan di sungai itu, ya.” Aku menurunkan layang-layang Kak
Gerald, sedangkan kak Gerald masih memainkan layang-layangku.
Kak
Gerald mengangguk. Ia menggerak-gerakkan tangannya.
“Iya,
Kak… Carolakan berhati-hati dan nggak berlama-lama, kok.” sahutku sambil berlalu
menuju sungai.
Setelah
mencuci tanganku, aku kembali ke taman bermain. Alam berubah menjadi gerimis.
Dikejauhan kulihat Kak Gerald sedang berusaha menarik-narik layang-layangku. Ia
terlihat panic. Angin terlalu kuat. Hingga akhirnya…… oh, tidak… layang-layang
pemberian Kak Adit putus dan terbang entah kemana jatuhnya. Aku berlari sekuat
tenaga mengikuti layang-layangku. Kuliahat Kak Gerald berlari menyusul.
Ternyata tersangkut di pohon yang sangat tinggi. Hujan masih gerimis, walau
agak sedikit reda. Kak Gerald berhenti di sampingku. Aku menatap tajam ke
arahnya.
“Kak
Gerald jahat. Kakak membuat aku kehilangan kembali Kak Aditku. Kakak membuat
aku gagal memenuhi janjiku kepada Kak Adit. Aku menyesal pernah mengenal Kakak.”
Aku berlalu pergi. Kak Gerald mengejarku. Ia menggerak-gerakkan tangannya. Ia
berusaha mencegahku pulang sendiri. Aku tak mau tau lagi.
“Jangan
pernah muncul di kehidupanku lagi. SELAMANYA!!” KAK Gerald terpaku. Ia
tertunduk sedih dan tak lagi berusaha mengejarku.
***
Alarmku
berbunyi. Aku segara mandi dan mengenakan seragamku. Rasanya kepalaku pusing
dan aku masih ngantuk berat. Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan
layang-layang Kak Adit. Rasanya ingin berteriak. Rasa benciku kepada Kak Gerald
semakin kuat. Aku tak mau bertemu dengannya lagi. Aku ingin ia pergi dari
kehidupanku selamanya.
Setelah
semua beres, aku turun ke ruang makan untuk sarapan. Mama telah menyiapkan
sarapan untuk aku dan papa. Mama dan papa saling melirik, seperti ada sesuatu
yang ingin disampaikan padaku, tetapi tertahan. Dan sepertinya mereka berdua
berselisih untuk menyampaikannya, dan keduanya tampak sama-sama tak berani
menyampaikan. Aku pura-pura tak peduli.
“Carol,
ini ada layang-layang Kak Adit.” kata
mama menyerahkan layang-layang kesayanganku yang agak sedikit luntur.
“Kok,
bisa ya, ma? Padahal kemarin nyangkut di pohon. Pohonnya tinggi banget sampai
menjulur ke tiang listrik. Siapa yang memberikannya, ma?”
“Mama
Gerald, ia juga menitipkan surat ini padamu.”
“Oke.
Trims, Ma. Aku tau pasti Kak Gerald yang memanjat pohon itu. Aku mau minta maaf
sama Kak Gerald karna udah marain dia kemarin.” Aku tersenyum, kemudian segera
berlari.
“Pa,
tunggu bentar, ya. Mau ketemu Kak Gerald dulu mau minta maaf dan ngucapin trims
sama dia. Sebantar ya, ma.” Buru-buru aku pergi sampai tak menghiraukan mama
yang berlari mencegahku.
Akhirnya,
sampai di rumah Kak Geral. Aku melihat di rumahnya sangat ramai.
“Kenapa
semua berseragam hitam? Seperti sedang berkabung. Oh…tidak, jangan-jangan mama
Kak Gerald meninggal. Tapi, kan kata mama tadi dia ada datang ke rumuh kasi
surat dan layang-layang itu.” Aku masih bergelut dengan alam pikirku yang belum
terjawab. Aku segera berlari masuk ke rumah itu. Dan mendekati kerumunan yang
sedang duduk mengitari jenazah. Ntah jenazah siapa.
“Oh…tidah. Itu kan
Kak Gerald.” Aku menangis hancur. Semua mata tertuju padaku. Papa Kak Gerald
mendekatiku.
“Apa yang terjadi,
om?”
“Kak Gerald tersetrum
listrik ketika memanjat pohon di taman kompleks kita.”
Aku terkaku. Sepi.
Semua menjadi begitu gelap.
***
Aku
membuka mataku walau masih agak sedikit berat. Kumemandang ke seliling ruangan.
Aku sudah berada di kamarku. Aku kembali mengingat kejadian sebelum aku pingsan
tadi. Kata papa Kak Gerald, Kak Gerald tersetrum ketika hendak turun karena
pohon itu terkena aliran listrik. Ia sempat dibawa ke rumah sakit dalam keadaan
tak sadarkan diri. Ia sempat melewati masa kritis. Ia menulis surat utukku.
Setelah menulis surat, ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Air mataku tak
terbendung.
Aku
meraba-raba saku seragamku. (aku tak jadi ke sekolah. Aku yakin orang tuaku
sudah mengabari pihak sekolah) mencari sesuatu. Yah..surat dari Kak Gerald yang
ditulis di rumah sakit sebelum dia menghembuskan napas terakhir.
Untuk
adikku, Caroline
Carol,
maafkan kakak. Kakak tak sengaja merusak layang-layangmu.
Ketika
kamu meninggalkan kakak, kakak sangat khawatir karena kamu belum juga datang.
Kakak khawatir hal buruk terjadi padamu di sungai karena kamu tak bisa
berenang.
Seandainya
kakak bisa berteriak kakak akan memanggilmu. Konsentrasi kakak tertuju padamu
sehingga tak menyadari layang-layang itu sudah tersangkut di ranting-ranting
pohon.
Maafkan
kakak karena telah membuat kamu terluka. Kakak telah gagal membuatmu bahagia.
“Kak
Gerald……………!” aku berteriak sekuat tenaga.
“Maafkan Carol, Kak.
Sekarang Carol sendiri. Siapa yang akan menemani Carol lagi?” Aku menutup
mataku, terluka. Sangat dalam. Aku benar-benar benci hari ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar